Kamis, 18 Oktober 2012

tetanus neonatorum


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia . Namun, banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia.
Masalah pada neonatus ini biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, serta kurangnya perawatan bayi baru lahir.
Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Salah satu kasus yang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah adalah kasus tetanus. Data organisasi kesehatan dunia WHO menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat pertolongan bila keadaan bayi sudah gawat. Penanganan yang sempurna memegang peranan penting dalam menurunkan angka mortalitas. Tingginya angka kematian sangat bervariasi dan sangat tergantung pada saat pengobatan dimulai serta pada fasilitas dan tenaga perawatan yang ada.
Di Indonesia, sekitar 9,8% dari 184 ribu kelahiran bayi menghadapi kematian. Contoh, pada tahun 80-an tetanus menjadi penyebab pertama kematian bayi di bawah usia satu bulan. Namun, pada tahun 1995 kasus serangan tetanus sudah menurun, akan tetapi ancaman itu tetap ada sehingga perlu diatasi secara serius. Tetanus juga terjadi pada bayi, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum, karena umumnya terjadi pada bayi baru lahir atau usia di bawah satu bulan (neonatus). Penyebabnya adalah spora Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat, karena tindakan atau perawatan yang tidak memenuhi syarat kebersihan.
Dengan tingginya kejadian kasus tetanus ini sangat diharapkan bagi seorang tenaga medis, dapat memberikan pertolongan/tindakan pertama atau pelayanan asuhan keperawatan yang sesuai dengan kewenangan dalam menghadapi kasus neonatorum.




















BAB II
KAJIAN TEORI
1.      Tetanus Neonatorum
1.1.Pengertian
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari (Stoll, 2007).
Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh clostridium tetani, dengan tanda utama kekauan otot (spasme), tanpa disertai oleh gangguan kesadaran (Ismoedijanto, 2006)
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu bakteri yang mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat (Saifudin, 2010)
1.2.Etilogi
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikron yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan membentuk spora. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk  bulat yang letaknya di ujung, dan memberi gambaran penabuh genderang (Bleck, 2000). Spora ini mampu bertahan hidup dalam lingkungan yang panas, antiseptik, dan di jaringan tubuh. Spora ini juga bisa bertahan hidup beberapa bulan bahkan bertahun (Ritarwan, 2004). Bakteria yang berbentuk batang ini sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa terkena luka melalui debu atau tanah yang terkontaminasai (Arnon, 2007).
Clostridium tetani merupakan bakteria gram positif dan dapat menghasilkan eksotoksin yang bersifat neurotoksik. Toksik ini dapat menyebabkan kekejangan pada otot (Suraatmaja, 2000).
1.3.Patogenesis
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berkaitan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui sitem transpor aksonal retograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak seterusnya menyebabkan gangguan sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf perifer (Arnon, 2007).  Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presipatik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu asam aminobutirot gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi epilapsi, yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian tubuh terganggu (Abrutyn, 2008). Ketegangan otot dapat bermula dari tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan leher. Pada saat toksin masuk ke sum-sum tulang belakang, kekuatan otot yang lebih berat dapat terjadi. Dijumpai kekuatan ekstremitas, otot dada, perut, dan mulai timbul kejang. Sebaik sahaja toksin mencapai korteks serebri, penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistem saraf otonom yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan, perkemihan, dan pergerakkan otot. Kekauan laring, hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan (hiperhidrosis) merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala penyulit ini jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala tersebut muncul (Ismoedijanto, 2006).
1.4.Gejala Klinis
Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku seperti menangis dan meyusui seperti bayi yang normal pada dua hari yang pertama. Pada hari ke-3, gejala-gejala tetanus mulai kelihatan. Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat mencapai 1-2 hari dan kadang-kadang lama melebihi satu bulan, makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; semakin jauh tempat invasi, semakin panjang masa inkubasi. Gejala klinis yng sering dijumpai pada tetanus neonatorum adalah :
a.       Terjadinya kekauan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut. Kekuatan otot pada leher lebih kuat akan menarik mulut ke bawah, sehingga mulut sedikit ternganga. Kadang-kadang dapat dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekauan pada mulut sehingga bayi tak dapat menetek (Chin, 2000).
b.      Teknik kekuatan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut, mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke bawah.
c.       Kekuatan yang sangat benyak menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan bisa terjadi fraktur vertebra.
d.      Kekakuan otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba seprti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada (thoraks) juga menjadi kaku sehingga penderita merasakan kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika kekuatan otot toraks berlangsung >5hari, perlu dicurigai timbulnya resiko perdarahan paru.
e.       Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat kekuatan yang terus menerus dari otot laring yang bisa menimbulkan sesak nafas. Efek tetanostamin dapat menyebabkan gangguan denyut jantung seperti kadar denyut jantung menurun (bradikardia), atau kadar denyut jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga dapat menyebabkan demam dan hiperhidrosis. Kekuatan otot polos dapat menyebabkan anak tidak bisa buang air kecil (retensi urin).
f.       Bila kekuatan otot semakin berat, akan timbul kejang-kejang umum yang terjadi setelah penderita menerima rangsangan, misalnya dicubit,digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya. Lambat laun “masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga menyebabkan status epileptiuks, yaitu bangkitan epilepsi berlangsung terus menerus selama lenih dari 30 menit tanpa diselangi oleh masa sadar; seterusnya bisa menyebabkan kematian (Ningsih, 2007).
1.5.Faktor Resiko
Terdapat 5 faktor utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu :
a.       Faktor resiko pencemaran lingkungan fisik dan biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan menyebabkan clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat penting bukan saja dapat mencegah tetanus, tetapi juga bangi penyakit lain.
b.      Faktor alat pemotong tali pusat
Penggunaan alat yang tidak steril memotong tali pusat meningkatkan resiko penularan penyakit neonatorum. Kejadian ini masih berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan yang melakukan pertolongan persalinan menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu utnuk memotong tali pusat bayi baru lahir (WHO, 2008).
c.       Faktor cara perawatan tali pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur. Seterysnya tali pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebgai salah satu ritual untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan meningkatkan resiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum (Chin, 2000).
d.      Faktor kebersihan tempat pelayanan persalinan
Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat persalinan yang tidak bersih bukan saja beresiko untuk menimbulkan penyakit pada bayi yang akan dilahirkan, malah pada ibu yang akan melahirkan. Tempat pelayanan persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan streil (Abrutyn, 2008).
e.       Faktor kekebalan ibu hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui darah, kemudian menurunklan resiko infeksi clostridium tetani. Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT (Chin, 2000).
1.6.Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis.
Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik    
1.7.Pencegahan
Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum adalah berdasarkan pada tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-faktor risiko. Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dialkukan dengan menjaga kebersihan lingkungan. Pemotongan dan perawatan tali pusat wajib menggunakan alat yang steril (WHO, 2006). Pengendalian kebersihan pada tempat pertolongan persalinan perlu dilakukan dengan maksimal mungkin agar tidak terjadi kontaminasi spora pada saat proses persalinan, pemotongan dan perawatn talipusat dilakukan. Penerapan 3Berrsih, yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong talipusat, bersih alas tempat tidur ibu, di samping perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan bidan. Selain persalinan yang bersih dan perawatan tali pusat yang tepat, pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi TT pada ibu hamil (Djaja, 2003). Pemberian imunisasi TT minimal 2x pada ibu hamil dikatakan sangat bermanfaas untuk mencegah tetanus neonatorum (Vandeler, 2003; WHO, 2008).
1.8.Pengobatan
a.       Diberikan cairan intravena (IVFD) dengan larutan glukosa 5% : NaCl fisiologis = 4:1 selama 42-72 jam sesuai dengan kebutuhan, sedangkan selanjutnya IVFD hanya untuk memasukkan obat.
Bila sakit penderita sudah >24 jam atau sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% : Natrium bikarbonat 1,5% = 4:1.
Bila setalah 72 jam belum mungkin diberikan minuman peroral makan melalui caira infus perlu diberikan tambahan protein dan kalium.
b.      Diazepam dosis awal 2,5mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit.
Dosis rumat diberikan 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukkan ke dalam cairan intravena dan diganti tiap 6jam).
Bila kejang masih sering timbul, boleh diberikan diazepam tambahan 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam boleh diberikan tambahan diazepam 5mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhan menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinisnya membaik, diazepam diberikan peroral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan diazeoam intravena.
c.       ATS 10.000 U/hari dan diberikan selama 2hari berturu-turut.
d.      Ampisilin 100mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis secara intravena selama 10 hari.
e.       Tali pusat dibersihkan dengan alkohol 70%
f.       Perhatikan jalan nafas, deurisis dan keadaan vital lainnya. Bila banyak lendir jalan nafas harus dibersihkan dan bila perlu diberikan oksigen.
(Ilmu Kesehatan Anak, 2007)
2.      Imunisasi Tetanus Toxoid (TT)
2.1.Pengertian
Imunisasi TT adalah suntikan vaksin tetanus untuk meningkatkan kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus (Idanati, 2005).
2.2.Manfaat
Manfaat imunisasi TT pada ibu hamil adalah :
  1. Dapat melindungi bayi baru lahir dari tetanus neonatorum (Chin, 2000)
  2. Dapat melindungi ibu hamil terhadap kemungkinan terjadinya tetanus apabila terluka (Depkes RI, 2004).
Kedua manfaat tersebut adalah penting dalam mencapai salahsatu tujuan dari program imunisasi secara nasional, yaitu eliminsai tetanus maternal dan tetanus neonatorum (Depkes, 2004).
2.3.Jumlah Dan Dosis Imunisasi TT Untuk Ibu Hamil
Imunisasi TT untuk ibu hamil diberikan 2x (Saifudin, 2001) dengan 0,5cc disuntikkan secara intramuskuler atau subkutan (Depkes RI, 2000). Sebaikanya imunisasi TT diberikan sebelum kehamilan 8 bulan. Suntikan TT1 dapat diberikan sejak diketahui positif hamil dimana biasanya diberikan kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan (Depkes RI, 2000). Jarak pemberian imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4minggu (Saifudin, 2001; Depkes Ri, 2005).
2.3.Efek Samping
Bisanya hanya terjadi gejala-gejala ringan seperti nyeri, kemerahan dan pembengkakkan pada tempat suntikan (Depkes RI, 2000). tT adalah antigen yang sangat aman untuk wanita hamil. Tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT (Saifudin, 2000). Efek samping tersebut berlangsung 1-2 hari dan akan sembuh sendiri tanpa diperlukan tindakan pengobatan (Depkes RI, 2000).
2.4.Tempat Pelayanan
Pelayanan imunisasi TT dapat dijumpai di :
a.       Puskesmas
b.      Puskesmas pembantu
c.       Rumah Sakit
d.      Rumah Bersalin
e.       Polindes
f.       Posyandu
g.      Rumah Sakit Swasta
h.      Dokter praktik, dan
i.        Bidan praktik (Depkes RI, 2004)
Tempat-tempat pelayanan milik pemerintah imunisasi diberikan dengan gratis.







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tetanus neonatorum adalah merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tetapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus (C. Tetani) melalui luka tali pusat.
Gejala yang timbul yaitu mulut mencucu seperti mulut ikan, bayi tiba-tiba panas, bayi tidak mau atau tidak dapat menetek lagi, mudah sekali atau sering kejang disertai sianosis.
Perjalanan penyakit biasanya berat dan tidak dibagi dalam 3 stadium seperti tetanus pada anak.
Toksoid tetanus yang diberikan 3kali berturut-turut pada trimester 3 kehamilan sangat bermakna mencegah tetanus neonatorum. Sterilisasi harus diperhatikan pada waktu pemotongan tali pusat dan pada perawatan tali pusat selanjutnya.









DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Azis Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. SalembaMedika : Jakarta.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
Wiknyosastro, Gulardi Hanifa. 2002. Pelayanan Kesehatan Material Dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.
Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company. 2004

Tidak ada komentar: