Kamis, 19 Juli 2012

obat melalui hidung



BAB I
PENDAHULUAN

Hidung mempunyai tugas menyaring udara dari segala macam debu yang masuk ke dalam melalui hidung. Tanpa penyaringan ini mungkin debu ini dapat mencapai paru-paru. Bagian depan dari rongga hidung terdapat rambut hidung yang berfungsi menahan butiran debu kasar, sedangkan debu halus dan bakteri menempel pada mukosa hidung. Dalam rongga hidung udara dihangatkan sehingga terjadi kelembaban tertentu.
Mukosa hidung tertutup oleh suatu lapisan yang disebut epitel respirateris yang terdiri dari sel-sel rambut getar dan sel “leher”. Sel-sel rambut getar ini mengeluarkan lendir yang tersebar rata sehingga merupakan suatu lapisan tipis yang melapisi mukosa hidung dimana debu dan bakteri ditahan dan melekat. Debu dan bakteri melekat ini tiap kali dikeluarkan ke arah berlawanan dengan jurusan tenggorokan. Yang mendorong adalah rambut getar hidung dimana getarannya selalu mengarah keluar. Gerakannya speerti cambuk, jadi selalu mencambuk keluar, dengan demikian bagian yang lebih dalam dari lapisan bulu getar ini selalu bersih dan “steril”. Biasanya pada pagi hari hal ini dapat dicapai.
Dengan penjelasan sepintas tersebut diatas dapat dengan mudah dipahami, bahwa segala sesuatu yang masuk (khusussnya obat) ke dalam hidung secara sengaja tidak boleh menghalangi fungsi dari rambut getar sebagaimana dijelaskan di atas. Harga pH lapisan lendir sekitar 5,5-5,6 pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak 5-6,7 pada pH kurang dari 6,5 biasanya tidak diketemukan bakteri dan bila lebih dari 6,5 mulai ada bakteri.
Bila kedinginan pH lendir hidung akan cenderung naik, sebaliknya bila kepanasan cenderung pH menurun. Pada waktu pilek, pH lendir alkalis, sehingga teori sebenarnya dapat disembuhkan denan mudah dengan cara menurunkan pHnya, yaitu kearah asam. Jadi pemberian obat dengan tujuan mengembalikan kondisi normal dari rongga hidung akan menolong.



















BAB II
KAJIAN TEORI
PEMBERIAN OBAT MELALUI HIDUNG

A.           PENGERTIAN
Hidung merupakan organ penciuman dan jalan utama keluar-masuknya udara dari dan ke paru-paru. Hidung juga memberikan tambahan resonansi pada suara dan merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis dan saluran air mata
Pemberian obat melalui hidung adalah cara memberikan obat pada hidung dengan tetes hidung yang dapat dilakukan pada seseorang dengan keradangan hidung (rhinitis) atau nasofaring
.
B.            TUJUAN
Tujuan dari pemberian obat melalui hidung adalah untuk mengobati infeksi dari rongga hidung dan sinus.

C.            ALAT DAN BAHAN:
1.             Obat dalam tempatnya
2.             Pipet
3.             Spekulum hidung
4.             Pinset anatomi dalam tempatnya
5.             Korentang dalam tempatnya
6.             Plester
7.             Kain kasa
8.             Kertas tisu
9.             Balutan


D.           PROSEDUR KERJA:
1.             Cuci tangan
2.             Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3.             Atur posisi pasien dengan cara:
a.             Duduk di kursi dengan kepala menengadah ke belakang.
b.             Berbaring dengan kepala ekstensi pada tepi tempat tidur.
c.             Berbaring dengan bantal di bawah, bahu dan kepala belakang.
4.             Berikan tetesan obat pada tiap lubang hidung (sesuai dengan Pertahankan posisi kepala tetap tengadah ke belakang selama  obat di teteskan ).
5.             Cuci tangan
6.             Catat, cara, tanggal, dan dosis pemberian obat

E.            KEUNTUNGAN:
a.              Metabolisme melalui enterohepatik dan dinding usus dikurangi
b.             Penguraian di saluran pencernaan dihindari
c.              Kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi serta profil konsentrasi obat dalam plasma terhadap waktu sebanding dengan pemberian dengan intra vena.
d.             Banyak pembuluh dan struktur membran mukosan yang permeabel sehingga memungkinkan pemberian untuk sistemik.

F.             KEKURANGAN:
a.              Metode dan teknik pemberian sulit karena memerlukan alat bantu yang dapat digunakan untuk ukuran yang tepat.
b.             Lokasi disposisi obat yang tepat, sulit dicapai.
c.              Kecepatan pembersihan obat

G.      ANATOMI FISIOLOGI HIDUNG   
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_1fw5Loi59M9ZZXOFMF28yCBufyaZ638vDgOlwxD9ClYScHBKw-lvVP2wbZS06iLVpinmZmM2cm_9CEcfTuR-dQrtOS8M5QuKMeA5ZQvGu2N-N991atZ7IEuaSPtiroBn_PVQdny9qJo/s320/T041371A.gif
Hidung manusia di bagi menjadi dua bagian rongga yang sama besar yang di sebut dengan Nostril.
1.             Dinding pemisah di sebut dengan septum, septum terbuat dari tulang yang sangat tipis. Rongga hidung di lapisi dengan rambut dan membran yang mensekresi lendir lengket.
2.             Rongga hidung (nasal cavity) berfungsi untuk mengalirkan udara dari luar ke tenggorokan menuju paru paru. Rongga hidung ini di hubungkan dengan bagian belakang tenggorokan. Rongga hidung di pisahkan oleh langit-langit mulut kita yang di sebut dengan Palate.
3.             Mucous membrane berfungsi mengahangatkan udara dan melembabkannya. Bagian ini membuat mucus (lendir atau ingus) yang berguna untuk menangkap debu, bagkteri, dan partikel-partikel kecil lainnya yang dapat merusak paru-paru.
Proetz dan yang lain yang ahli dalam bidang fisiologi hidung menyatakan bahwa “semua infeksi pada rongga hidung bagaimanapun sumbernya hanya satu yaitu kegagalan system penyaringan dari hidung itu sendiri”, Dia menekankan sekali lagi bahwa kelembaban (moisture) memegang peranan utama dalam mekanisme pertahanan hidung yaitu gerakan cilia yang bergerak secara bertahap mendorong semua yang lengket pada mucus dari arah belakang ke depan lubang hidung tertutup dengan membran mucus respiratori. Epitel bagian respiratori terdiri dari sel silia yang diantaranya ada sel-sel goblet. Sel-sel goblet merupakan kelenjar mucus dan setiap kelenjar ini mukusnya secara teratur didorong keluar oleh aksi cambukan cilia. Dibagian bawah mucus tersebut terjalin jaringan pembuluh darah vena yang mengatur peredaran darah di hidung.
Hingga sekarang gerakan cilia dipengaruhi syaraf atau belum diketahui dengan jelas. Namun demikian studi Burn menyatakan adanya asetilkholin yang terbentuk di situ dan bahwa konsentrasi kholinesterase sudah ditetapkan. Ternyata konsentrasi kholinesterase yang sangat kecil menghambat mempercepat cilia, sedangkan konsentrasi yang lebih besar memperlambat gerakan. Atropin dan kurare memperlambat gerakan cilia. Efeknya adalah berlawanan.
Kelenjar mucus nampaknya keluar terus-menerus karena aktivitas kelenjar bukan karena sesuatu yang pasif, sebagaimana terdahulu diduga. Untuk membuktikan gejala fisiologis tersebut dilakukan percobaan penyuntikan fluorecein secara intravena. Ingelstedt dan Ivstam memperlihatkan bahwa fluorecein ini tidak terdeteksi pada sekresi hidung yang normal, walaupun sekresi ini juga di transfer dari darah ke cairan lendir hidung. Penderita alergi rhinitis kronik, juga memperlihatkan hal yang sama. Tetapi pada rhinitis akut atau sinusitis pewarna tadi (fluorecein) terdeteksi pada sekresi dengan menguji eksudat. Pada rhinitis akut eksudat keluar secar pasif (dgn sendirinya). Mukus (lendir) melindungi mukosa dari pengaruh larutan histamin, namun bila mucus dihilangkan maka, fluorecein dapat terdeteksi. Suntikan antihistamin juga ternyata memacu inflamasi tersebut.
Mukus merupakan system agak kental, pseudoplastik dan merupakan mukoprotein. Pada keadaan normal benda asing, seperti debu, bakteri, puder dan tetes minyak semua terperangkap dalam film mucus dan dibawa keluar dari rongga hidung.
Selanjutnya dikatakan bahwa mucus hidung 6 kali kental dibanding cairan lambung/mukus lambung. Kekentalan mucus hidung ini penting sehubungan dengan fungsi cilia, terlalu encer tidak baik begitu pun bila sebaliknya (sulit bagi silia untuk melempar film mucus). Anderson dan Rubin yakin bahwa sedikitnya 20 % kasus gejala penyakit hidung disebabkan kenaikan kekentalan mucus tersebut yang mengarah ke keringan. Kekeringan disebabkan banyak factor antara lain suhu, debu, alergi, obat (atropin, stimulasi atau depresi otonomik) dan serangan virus.
pH normal mucus hidung dilaporakan oleh Febricant, yaitu sekitar 5,5 sampai 6,5 udara dingin cenderung menyebabkan pH ke arah alkali.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4sk0bzKMr1zAIS2ShjJ9P5w-DIiymthYEnay0Fp7phZVgkDxYkqgXXc-EM75eZDK2YAAQyTy1CwBnLuIlHsRF0k-xKSe-Db_52H7JeWwRqy9fc4YoXDyf2snphXSxbxrYRsgAzuBKgEk/s320/1001028.jpg

Respon cilia terhadap obat

1.       Larutan NaCL baik cilia manusia maupun pada kelinci tetap aktif untuk jangka waktu yang lama dalam larutan 0,9 % NaCl pada suhu antara 25-30°C. bila konsentrasi NaCl dinaikkan pada bagian tertentu cilia berhenti bergerak, beberapa jam kemudian tempat lain dan seterusnya. Pada konsentrasi 4-4,5 % semua silia berhenti. Bila membran dicuci dengan konsentrasi air suling dan diganti NaCl 0,9 % cilia aktif kembali. Bila konsentrasi berkurang aktivitasnya, pada 0,2-0,3 % cilia berhenti. Walaupun sama-sama tidak aktif, namun kejadian belakangan tidak dapat diperbaiki dengan menaikkan konsentrasi NaCl jadi kerusakan cilia pada keadaan encer permanen.
2.       Pengurangan ion kalsium, penggunaan senyawa tartrat, citrat, oksalat dan bahan penghelat Ca lainnya akan menghentikan gerakan cilia.
3.       Minyak, akan tinggal lama melengket pada film mucus dan akan mempengaruhi aktivitas normal dari cilia. Minyak tidak baik untuk pembawa, karena menimbulkan lipoid pneumonia. Minyak tumbuhan yang bebas asam lemak dikatakan tidak menimbulkan masalah, namun minyak mineral atau hewan tetap tidak cocok.
4.       Protargol, larutan koloid akan mengurangi gerakan cilia
5.       Larutan perak dan Zink, juga demikian. Larutan perak nitrat 0,5 % sudah menghancurkan cilia begitu juga zink sulfat.
6.       Larutan cocain, larutan lebih besar dari 2,5 % menyebabkan paralisisi cilia, begitu juga efedrin HCl lebih besar dari 1%.
7.       Kamfer, Timol, Menthol, Eukaliptol dan senyawa eteris lainnya menyebabkan penurunan kecepatan gerak cilia. Kurang dari 1 %. Dalam bentuk uap tidak mempengaruhi (inheler).
8.       Antibiotik, Soda penisilin tidak merusak cilia bila diberikan dalam bentuk larutan 250-500 unit/ml (dalam larutan NaCl isotoni). Pada konsentrasi 5000 unit terjadi penurunan kecepatan cambukan cilia dengan diselingi berhenti. Suspensi tirotrisina dalam air (1 : 2000 dan 1:5000) menekan sama sekali aktivitas cilia.
9.       Atropin, pemberian oral atropin menyebabkan kekeringan atau penghentian gerakan cilia. Pemberian local mereduksi produksi mucus.

H.      ABSORBSI OBAT

Absorbsi obat lewat mucus hidung terkadang baik atau lebih baik dari oral. Rute intranasal nampaknya ideal karena menghasilkan efek langsung ke vascular dan mudah pemberiannya. Namun demikian cara ini jarang dijumpai sehari-hari.
Tonndorf dan pembantunya mengkaji absorbsi hiosin dan atropin dari selaput lendir manusia. Mereka mengevaluasi denga cara mengamati hambatan produksi saliva sebagai cara untuk menguji absorbsi obat. Penemuan mereka didemonstrasikan sebagai pemberian obat melalui hidung.
Untuk k semua kasus, produksi saliva untuk kontrol berbeda nyata dengan yang mengandung obat, sediaan kapsul yang paling lambat responnya, diikuti larutan oral. Perlambatan respon nampaknya tergantung pada waktu yang diperlukan untuk melarutkan kapsul dan padatan garam alkalod.
Injeksi subkutan memberikan respon yang paling cepat dan tetes hidung menyusul sesudahnya.
Pemberian hiosin dalam bentuk semprotan (spray) responnya tidak sebaik tetes hidung. Akan tetapi apabila 0,01 % Na-Laurilsulfat ditambahkan pada tempat absorbsi obat, maka responnya akan sebaik respon tetes hidung.
Obat yang sering diberikan untuk pengobatan hidung :
a.              Antibiotik
b.             Sulfasetamide
c.              Vasokontriktor
d.             Germisid
e.              Antiseptik
Yang perlu diperhatikan bahwa rambut getar dalam rongga hidung sangat peka terhadap beberapa macam obat misalnya obat yang mengandung Efedrin HCl, konsentrasi paling tinggi yang dapat ditahan adalah 3% lebih tinggi dari kadar tersebut akan mengerem kerja dari rambut getar.
Larutan adrenalin yang asam (adrenalin 1 % pH 3) juga akan mengerem kerja dari rambut getar hidung. Larutan kokain HCl hanya dapat digunakan sampai konsentrasi paling tinggi 2,5 %.
Larutan protalgol mempunyai pengaruh yang nyata terhadap rambut getar hidung karena mengendapklan protein (padahal lendir yang diekskresikan di daerah rambut getar sebagian bersar terdiri dari protein).
Parafin cair jika digunakan sebagai bahan pembawa (baik sebagai pelarut atau mengahsilkan suspensi) akan memberikan suatu lapisan pada mukosa hidung, hingga secara tidak langsung dapat mengurangi kerja rambut getar, jadi tetes hidung dengan paraffin cair sebaiknya dihindari.
Reaksi alkali seperti misalnya garam sulfat, hendaknya juga dihindari karena biasanya pH larutan sulfat sangat alkali yaitu pHnya antara 10-11. sebagai pelarut bukan lagi air yang dipakai melainkan propilenglikol, larutan sulfat dalam propilen glikol tak perlu dialkalikan, jadi reaksinya sedikit asam (karena sulfa merupakan asam lemah).
Obat tetes hidung harus isoosmotik dengan secret hidung atau isoosmotik dengan cairan tubuh lainnya yaitu sama denagn larutan NaCl 0,9% . pengisotonisan ini perlu sekail maksudnya agar tidak mengganggu fungsi rambut getar, epitel. Sedikit hipertoni masih diperkenankan. Sebagai bahan pengiisotoni digunakan NaCl atau glukosa.
Tetes hidung harus steril dan untuk untuk menjaga agar oabat terhindar dari kontaminasi, maka penambahan preservatif juga dilakukan misalnya dengan nipagin atau nipasol atau kombinasi keduanya. Nipagin dipakai 0,04-0,01 %; sedangkan campurannya dapat dibuat dengan kombinasi Nipagin (0.026%) + Nipasol (0.014%).
Secara umum untuk obat (tetes) hidung harus diperhatikan :
1.       Sebaiknya digunakan pelarut air
2.       Jangan menggunakan obat yang cenderung akan mengerem fungsi rambut getar epitel
3.       pH larutan sebaiknya diatur sekitar 5,5-6,5 dan agar pH tersebut stabil hendaknya ditambahkan dapar (buffer)
4.       Usahakan agar larutan isotoni
5.       Agar supaya obat dapat tinggal lama dalam rongga hidung dapat diusahakan penambahan bahan yang menaikkan viskositasnya agar mendekati secret lendir hidung
6.       Hendaknya dihindari larutan obat (tetes) hidung yang bereaksi alkali
7.       Penting untuk diketahui jangan sampai bayi diberi tetes hidung yang mengandung menthol, karena dapat menyebabkan karam (kejang) pada jalan pernafasan
8.       Harus tetap stabil selama dalam pemakaian pasien
9.       Harus mengandung antibakteri untuk mereduksi pertumbuhan bakteri selama dan pada saat obat diteteskan.
Dapar fosfat untuk obat tetes hidung (pH 6,5) dapat digunakan dan dibuat seperti tersebut dibawah ini :
1.             NaH2PO4. H2O 0,65
2.             NaH2PO4. 7 H2O 0,54
3.             NaCl 0,45
4.             Benzalkonium klorida 0.01-0,10%
5.             Air suling secukupnya 100 ml
Beberapa obat simpatomimetik (atropin, hiosin, skopolamin) karena mudah teroksidasi jadi perlu penambahan antioksidan dan juga kontrol pH.
Obat hidung biasanya diberikan dengan empat cara :
1.       Yang biasanya adalah dengan meneteskan pada bagian tiap lubang hidung dengan menggunakan pipet tetes.
2.       Dengan cara disemprotkan, alatnya ada yang jenis untuk mendapatkan hasil semprotan beruba kabut (atomizer) ada juga yang agak halus (neulizer) artinya lebih halus dari atomizer.
3.       Dengan cara mencucikan dengan alat “nasal douche”
4.       Dapat juga dengan cara “inheler”, diisap-isap.
















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN


Pemberian obat melalui hidung adalah Pemberian obat melalui hidung adalah cara memberikan obat pada hidung dengan tetes hidung yang dapat dilakukan pada seseorang dengan keradangan hidung (rhinitis) atau nasofaring.
Empat cara memberikan obat  hidung :
1.       Yang biasanya adalah dengan meneteskan pada bagian tiap lubang hidung dengan menggunakan pipet tetes.
2.       Dengan cara disemprotkan, alatnya ada yang jenis untuk mendapatkan hasil semprotan beruba kabut (atomizer) ada juga yang agak halus (neulizer) artinya lebih halus dari atomizer.
3.       Dengan cara mencucikan dengan alat “nasal douche”
4.       Dapat juga dengan cara “inheler”, diisap-isap.










DAFTAR PUSTAKA


Ditjen POM, (1979), Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI, Jakarta.
Ditjen POM, (1995), Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depkes RI, Jakarta.
Parrot, L.E., (1971), Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, Burgess Publishing Co, USA.
Jenkins, G.L., (1969), Scoville's:The Art of Compounding, Burgess Publishing Co, USA.
Gennaro, A.R., (1998), Remington's Pharmaceutical Science, 18th Edition, Marck Publishing Co, Easton.
Tjay, T.H., (2000), Obat-obat Penting, Edisi V, Depkes RI, Jakarta.
Ganiswara, S.B., (1995), Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta.
Kibbe,A.H., (1994), Handbook of Pharmaceutical Excipient, The Pharmaceutical Press, London.
Lachman, L, et all, (1986), The Theory and Practise of Industrial Pharmacy, Third Edition, Lea and Febiger, Philadelphia.
Turco, S.,dkk., (1970), Sterile Dosage Forms, Lea and Febiger, Philadelphia.
Parfitt,K., (1994), Martindale The Complete Drug Reference, 32nd Edition, Pharmacy Press.
Groves,M.J., ( ), Parenteral Technology Manual, Second Edition, Interpharm Press.

Tidak ada komentar: