BAB I
PENDAHULUAN
Hidung mempunyai tugas menyaring udara dari segala macam
debu yang masuk ke dalam melalui hidung. Tanpa penyaringan ini mungkin debu ini
dapat mencapai paru-paru. Bagian depan dari rongga hidung terdapat rambut
hidung yang berfungsi menahan butiran debu kasar, sedangkan debu halus dan
bakteri menempel pada mukosa hidung. Dalam rongga hidung udara dihangatkan
sehingga terjadi kelembaban tertentu.
Mukosa hidung tertutup oleh suatu lapisan yang disebut
epitel respirateris yang terdiri dari sel-sel rambut getar dan sel “leher”.
Sel-sel rambut getar ini mengeluarkan lendir yang tersebar rata sehingga
merupakan suatu lapisan tipis yang melapisi mukosa hidung dimana debu dan
bakteri ditahan dan melekat. Debu dan bakteri melekat ini tiap kali dikeluarkan
ke arah berlawanan dengan jurusan tenggorokan. Yang mendorong adalah rambut
getar hidung dimana getarannya selalu mengarah keluar. Gerakannya speerti
cambuk, jadi selalu mencambuk keluar, dengan demikian bagian yang lebih dalam
dari lapisan bulu getar ini selalu bersih dan “steril”. Biasanya pada pagi hari
hal ini dapat dicapai.
Dengan penjelasan sepintas tersebut diatas dapat dengan
mudah dipahami, bahwa segala sesuatu yang masuk (khusussnya obat) ke dalam
hidung secara sengaja tidak boleh menghalangi fungsi dari rambut getar
sebagaimana dijelaskan di atas. Harga pH lapisan lendir sekitar 5,5-5,6 pada
orang dewasa, sedangkan pada anak-anak 5-6,7 pada pH kurang dari 6,5 biasanya
tidak diketemukan bakteri dan bila lebih dari 6,5 mulai ada bakteri.
Bila kedinginan pH lendir hidung akan cenderung naik,
sebaliknya bila kepanasan cenderung pH menurun. Pada waktu pilek, pH lendir
alkalis, sehingga teori sebenarnya dapat disembuhkan denan mudah dengan cara
menurunkan pHnya, yaitu kearah asam. Jadi pemberian obat dengan tujuan
mengembalikan kondisi normal dari rongga hidung akan menolong.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
PEMBERIAN
OBAT MELALUI HIDUNG
A.
PENGERTIAN
Hidung
merupakan organ penciuman dan jalan utama keluar-masuknya udara dari dan ke paru-paru.
Hidung juga memberikan tambahan resonansi pada suara dan merupakan tempat
bermuaranya sinus paranasalis dan saluran air mata
Pemberian
obat melalui hidung adalah cara memberikan obat pada hidung dengan tetes hidung
yang dapat dilakukan pada seseorang dengan keradangan hidung (rhinitis) atau
nasofaring
.
B.
TUJUAN
Tujuan
dari pemberian obat melalui hidung adalah untuk mengobati infeksi dari rongga
hidung dan sinus.
C.
ALAT DAN BAHAN:
1.
Obat dalam tempatnya
2.
Pipet
3.
Spekulum hidung
4.
Pinset anatomi dalam tempatnya
5.
Korentang dalam
tempatnya
6.
Plester
7.
Kain kasa
8.
Kertas tisu
9.
Balutan
D.
PROSEDUR KERJA:
1.
Cuci tangan
2.
Jelaskan prosedur yang
akan dilakukan
3.
Atur posisi pasien
dengan cara:
a.
Duduk di kursi dengan
kepala menengadah ke belakang.
b.
Berbaring dengan kepala
ekstensi pada tepi tempat tidur.
c.
Berbaring dengan bantal
di bawah, bahu dan kepala belakang.
4.
Berikan tetesan obat
pada tiap lubang hidung (sesuai dengan Pertahankan posisi kepala tetap tengadah
ke belakang selama obat di teteskan ).
5.
Cuci tangan
6.
Catat, cara, tanggal,
dan dosis pemberian obat
E.
KEUNTUNGAN:
a.
Metabolisme melalui enterohepatik dan dinding usus dikurangi
b.
Penguraian di saluran pencernaan dihindari
c.
Kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi serta profil
konsentrasi obat dalam plasma terhadap waktu sebanding dengan pemberian dengan
intra vena.
d.
Banyak pembuluh dan struktur membran mukosan yang permeabel
sehingga memungkinkan pemberian untuk sistemik.
F.
KEKURANGAN:
a.
Metode dan teknik pemberian sulit karena memerlukan alat
bantu yang dapat digunakan untuk ukuran yang tepat.
b.
Lokasi disposisi obat yang tepat, sulit dicapai.
c.
Kecepatan pembersihan obat
G. ANATOMI
FISIOLOGI HIDUNG
Hidung manusia di bagi menjadi dua bagian rongga yang
sama besar yang di sebut dengan Nostril.
1.
Dinding pemisah di sebut dengan septum,
septum terbuat dari tulang yang sangat tipis. Rongga hidung di lapisi dengan
rambut dan membran yang mensekresi lendir lengket.
2.
Rongga
hidung (nasal cavity) berfungsi untuk mengalirkan udara dari luar ke
tenggorokan menuju paru paru. Rongga hidung ini di hubungkan dengan bagian
belakang tenggorokan. Rongga hidung di pisahkan oleh langit-langit mulut kita
yang di sebut dengan Palate.
3.
Mucous
membrane berfungsi mengahangatkan udara dan melembabkannya.
Bagian ini membuat mucus (lendir atau ingus) yang berguna untuk menangkap debu,
bagkteri, dan partikel-partikel kecil lainnya yang dapat merusak paru-paru.
Proetz
dan yang lain yang ahli dalam bidang fisiologi hidung menyatakan bahwa “semua
infeksi pada rongga hidung bagaimanapun sumbernya hanya satu yaitu kegagalan
system penyaringan dari hidung itu sendiri”, Dia menekankan sekali lagi bahwa
kelembaban (moisture) memegang peranan utama dalam mekanisme pertahanan hidung
yaitu gerakan cilia yang bergerak secara bertahap mendorong semua yang lengket
pada mucus dari arah belakang ke depan lubang hidung tertutup dengan membran
mucus respiratori. Epitel bagian respiratori terdiri dari sel silia yang
diantaranya ada sel-sel goblet. Sel-sel goblet merupakan kelenjar mucus dan
setiap kelenjar ini mukusnya secara teratur didorong keluar oleh aksi cambukan
cilia. Dibagian bawah mucus tersebut terjalin jaringan pembuluh darah vena yang
mengatur peredaran darah di hidung.
Hingga
sekarang gerakan cilia dipengaruhi syaraf atau belum diketahui dengan jelas.
Namun demikian studi Burn menyatakan adanya asetilkholin yang terbentuk di situ
dan bahwa konsentrasi kholinesterase sudah ditetapkan. Ternyata konsentrasi
kholinesterase yang sangat kecil menghambat mempercepat cilia, sedangkan
konsentrasi yang lebih besar memperlambat gerakan. Atropin dan kurare
memperlambat gerakan cilia. Efeknya adalah berlawanan.
Kelenjar
mucus nampaknya keluar terus-menerus karena aktivitas kelenjar bukan karena
sesuatu yang pasif, sebagaimana terdahulu diduga. Untuk membuktikan gejala
fisiologis tersebut dilakukan percobaan penyuntikan fluorecein secara
intravena. Ingelstedt dan Ivstam memperlihatkan bahwa fluorecein ini tidak
terdeteksi pada sekresi hidung yang normal, walaupun sekresi ini juga di
transfer dari darah ke cairan lendir hidung. Penderita alergi rhinitis kronik,
juga memperlihatkan hal yang sama. Tetapi pada rhinitis akut atau sinusitis
pewarna tadi (fluorecein) terdeteksi pada sekresi dengan menguji eksudat. Pada
rhinitis akut eksudat keluar secar pasif (dgn sendirinya). Mukus (lendir)
melindungi mukosa dari pengaruh larutan histamin, namun bila mucus dihilangkan
maka, fluorecein dapat terdeteksi. Suntikan antihistamin juga ternyata memacu
inflamasi tersebut.
Mukus
merupakan system agak kental, pseudoplastik dan merupakan mukoprotein. Pada
keadaan normal benda asing, seperti debu, bakteri, puder dan tetes minyak semua
terperangkap dalam film mucus dan dibawa keluar dari rongga hidung.
Selanjutnya dikatakan bahwa mucus hidung 6 kali kental dibanding
cairan lambung/mukus lambung. Kekentalan mucus hidung ini penting sehubungan
dengan fungsi cilia, terlalu encer tidak baik begitu pun bila sebaliknya (sulit
bagi silia untuk melempar film mucus). Anderson dan Rubin yakin bahwa
sedikitnya 20 % kasus gejala penyakit hidung disebabkan kenaikan kekentalan
mucus tersebut yang mengarah ke keringan. Kekeringan disebabkan banyak factor
antara lain suhu, debu, alergi, obat (atropin, stimulasi atau depresi otonomik)
dan serangan virus.
pH normal mucus hidung dilaporakan oleh Febricant, yaitu
sekitar 5,5 sampai 6,5 udara dingin cenderung menyebabkan pH ke arah alkali.
Respon cilia terhadap obat
1. Larutan NaCL baik cilia manusia
maupun pada kelinci tetap aktif untuk jangka waktu yang lama dalam larutan 0,9
% NaCl pada suhu antara 25-30°C. bila konsentrasi NaCl dinaikkan pada bagian
tertentu cilia berhenti bergerak, beberapa jam kemudian tempat lain dan
seterusnya. Pada konsentrasi 4-4,5 % semua silia berhenti. Bila membran dicuci
dengan konsentrasi air suling dan diganti NaCl 0,9 % cilia aktif kembali. Bila
konsentrasi berkurang aktivitasnya, pada 0,2-0,3 % cilia berhenti. Walaupun
sama-sama tidak aktif, namun kejadian belakangan tidak dapat diperbaiki dengan
menaikkan konsentrasi NaCl jadi kerusakan cilia pada keadaan encer permanen.
2. Pengurangan ion kalsium, penggunaan
senyawa tartrat, citrat, oksalat dan bahan penghelat Ca lainnya akan
menghentikan gerakan cilia.
3. Minyak, akan tinggal lama melengket
pada film mucus dan akan mempengaruhi aktivitas normal dari cilia. Minyak tidak
baik untuk pembawa, karena menimbulkan lipoid pneumonia. Minyak tumbuhan yang
bebas asam lemak dikatakan tidak menimbulkan masalah, namun minyak mineral atau
hewan tetap tidak cocok.
4. Protargol, larutan koloid akan mengurangi
gerakan cilia
5. Larutan perak dan Zink, juga demikian.
Larutan perak nitrat 0,5 % sudah menghancurkan cilia begitu juga zink sulfat.
6. Larutan cocain, larutan lebih besar dari
2,5 % menyebabkan paralisisi cilia, begitu juga efedrin HCl lebih besar dari 1%.
7. Kamfer, Timol, Menthol, Eukaliptol dan senyawa eteris lainnya menyebabkan
penurunan kecepatan gerak cilia. Kurang dari 1 %. Dalam bentuk uap tidak
mempengaruhi (inheler).
8. Antibiotik, Soda penisilin tidak
merusak cilia bila diberikan dalam bentuk larutan 250-500 unit/ml (dalam
larutan NaCl isotoni). Pada konsentrasi 5000 unit terjadi penurunan kecepatan
cambukan cilia dengan diselingi berhenti. Suspensi tirotrisina dalam air (1 :
2000 dan 1:5000) menekan sama sekali aktivitas cilia.
9. Atropin, pemberian oral atropin menyebabkan
kekeringan atau penghentian gerakan cilia. Pemberian local mereduksi produksi
mucus.
H. ABSORBSI OBAT
Absorbsi
obat lewat mucus hidung terkadang baik atau lebih baik dari oral. Rute
intranasal nampaknya ideal karena menghasilkan efek langsung ke vascular dan
mudah pemberiannya. Namun demikian cara ini jarang dijumpai sehari-hari.
Tonndorf dan pembantunya mengkaji absorbsi hiosin dan
atropin dari selaput lendir manusia. Mereka mengevaluasi denga cara mengamati
hambatan produksi saliva sebagai cara untuk menguji absorbsi obat. Penemuan
mereka didemonstrasikan sebagai pemberian obat melalui hidung.
Untuk k
semua kasus, produksi saliva untuk kontrol berbeda nyata dengan yang mengandung obat, sediaan kapsul yang paling lambat responnya,
diikuti larutan oral. Perlambatan respon nampaknya tergantung pada waktu yang
diperlukan untuk melarutkan kapsul dan padatan garam alkalod.
Injeksi subkutan memberikan respon yang paling cepat dan
tetes hidung menyusul sesudahnya.
Pemberian hiosin dalam bentuk semprotan (spray) responnya
tidak sebaik tetes hidung. Akan tetapi apabila 0,01 % Na-Laurilsulfat
ditambahkan pada tempat absorbsi obat, maka responnya akan sebaik respon tetes
hidung.
Obat
yang sering diberikan untuk pengobatan hidung :
a.
Antibiotik
b.
Sulfasetamide
c.
Vasokontriktor
d.
Germisid
e.
Antiseptik
Yang perlu diperhatikan bahwa rambut getar dalam rongga
hidung sangat peka terhadap beberapa macam obat misalnya obat yang mengandung
Efedrin HCl, konsentrasi paling tinggi yang dapat ditahan adalah 3% lebih
tinggi dari kadar tersebut akan mengerem kerja dari rambut getar.
Larutan
adrenalin yang asam (adrenalin 1 % pH 3) juga akan mengerem kerja dari rambut
getar hidung. Larutan kokain HCl hanya dapat digunakan sampai konsentrasi
paling tinggi 2,5 %.
Larutan
protalgol mempunyai pengaruh yang nyata terhadap rambut getar hidung karena
mengendapklan protein (padahal lendir yang diekskresikan di daerah rambut getar
sebagian bersar terdiri dari protein).
Parafin
cair jika digunakan sebagai bahan pembawa (baik sebagai pelarut atau
mengahsilkan suspensi) akan memberikan suatu lapisan pada mukosa hidung, hingga
secara tidak langsung dapat mengurangi kerja rambut getar, jadi tetes hidung
dengan paraffin cair sebaiknya dihindari.
Reaksi
alkali seperti misalnya garam sulfat, hendaknya juga dihindari karena biasanya
pH larutan sulfat sangat alkali yaitu pHnya antara 10-11. sebagai pelarut bukan
lagi air yang dipakai melainkan propilenglikol, larutan sulfat dalam propilen
glikol tak perlu dialkalikan, jadi reaksinya sedikit asam (karena sulfa
merupakan asam lemah).
Obat
tetes hidung harus isoosmotik dengan secret hidung atau isoosmotik dengan
cairan tubuh lainnya yaitu sama denagn larutan NaCl 0,9% . pengisotonisan ini
perlu sekail maksudnya agar tidak mengganggu fungsi rambut getar, epitel.
Sedikit hipertoni masih diperkenankan. Sebagai bahan pengiisotoni digunakan
NaCl atau glukosa.
Tetes
hidung harus steril dan untuk untuk menjaga agar oabat terhindar dari
kontaminasi, maka penambahan preservatif juga dilakukan misalnya dengan nipagin
atau nipasol atau kombinasi keduanya. Nipagin dipakai 0,04-0,01 %; sedangkan
campurannya dapat dibuat dengan kombinasi Nipagin (0.026%) + Nipasol (0.014%).
Secara
umum untuk obat (tetes) hidung harus diperhatikan :
1.
Sebaiknya digunakan pelarut air
2.
Jangan menggunakan obat yang
cenderung akan mengerem fungsi rambut getar epitel
3.
pH larutan sebaiknya diatur sekitar
5,5-6,5 dan agar pH tersebut stabil hendaknya ditambahkan dapar (buffer)
4.
Usahakan agar larutan isotoni
5.
Agar supaya obat dapat tinggal lama
dalam rongga hidung dapat diusahakan penambahan bahan yang menaikkan
viskositasnya agar mendekati secret lendir hidung
6. Hendaknya dihindari
larutan obat (tetes) hidung yang bereaksi alkali
7. Penting untuk
diketahui jangan sampai bayi diberi tetes hidung yang mengandung menthol,
karena dapat menyebabkan karam (kejang) pada jalan pernafasan
8.
Harus tetap stabil selama dalam
pemakaian pasien
9.
Harus mengandung antibakteri untuk
mereduksi pertumbuhan bakteri selama dan pada saat obat diteteskan.
Dapar
fosfat untuk obat tetes hidung (pH 6,5) dapat digunakan dan dibuat seperti
tersebut dibawah ini :
1.
NaH2PO4.
H2O 0,65
2.
NaH2PO4.
7 H2O 0,54
3.
NaCl
0,45
4.
Benzalkonium
klorida 0.01-0,10%
5.
Air
suling secukupnya 100 ml
Beberapa
obat simpatomimetik (atropin, hiosin, skopolamin) karena mudah teroksidasi jadi
perlu penambahan antioksidan dan juga kontrol pH.
Obat hidung biasanya diberikan dengan empat cara :
1.
Yang biasanya adalah dengan
meneteskan pada bagian tiap lubang hidung dengan menggunakan pipet tetes.
2.
Dengan cara disemprotkan, alatnya
ada yang jenis untuk mendapatkan hasil semprotan beruba kabut (atomizer) ada
juga yang agak halus (neulizer) artinya lebih halus dari atomizer.
3. Dengan cara
mencucikan dengan alat “nasal douche”
4.
Dapat juga dengan cara “inheler”,
diisap-isap.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pemberian
obat melalui hidung adalah Pemberian obat melalui hidung adalah cara memberikan
obat pada hidung dengan tetes hidung yang dapat dilakukan pada seseorang dengan
keradangan hidung (rhinitis) atau nasofaring.
Empat
cara memberikan obat hidung :
1.
Yang biasanya adalah dengan
meneteskan pada bagian tiap lubang hidung dengan menggunakan pipet tetes.
2.
Dengan cara disemprotkan, alatnya
ada yang jenis untuk mendapatkan hasil semprotan beruba kabut (atomizer) ada
juga yang agak halus (neulizer) artinya lebih halus dari atomizer.
3. Dengan cara
mencucikan dengan alat “nasal douche”
4.
Dapat juga dengan cara “inheler”,
diisap-isap.
DAFTAR
PUSTAKA
Ditjen POM, (1979), Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI,
Jakarta.
Ditjen POM, (1995), Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depkes RI,
Jakarta.
Parrot, L.E.,
(1971), Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, Burgess
Publishing Co, USA.
Jenkins, G.L.,
(1969), Scoville's:The Art of Compounding, Burgess Publishing Co, USA.
Gennaro, A.R.,
(1998), Remington's Pharmaceutical Science, 18th Edition,
Marck Publishing Co, Easton.
Tjay, T.H.,
(2000), Obat-obat Penting, Edisi V, Depkes RI, Jakarta.
Ganiswara, S.B., (1995), Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, Bagian
Farmakologi FKUI, Jakarta.
Kibbe,A.H.,
(1994), Handbook of Pharmaceutical Excipient, The Pharmaceutical Press,
London.
Lachman, L, et all,
(1986), The Theory and Practise of Industrial Pharmacy, Third Edition,
Lea and Febiger, Philadelphia.
Turco, S.,dkk., (1970),
Sterile Dosage Forms, Lea and Febiger, Philadelphia.
Parfitt,K., (1994), Martindale The
Complete Drug Reference, 32nd Edition, Pharmacy Press.
Groves,M.J., ( ), Parenteral
Technology Manual, Second Edition, Interpharm Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar