MANAJEMEN AKTIF KALLA III
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Periode kala III
persalinan dimulai saat proses lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta. Komplikasi utama yang terkait dengan periode ini adalah
perdarahan postpartum (PPH), yang merupakan penyebab paling umum dari
morbiditas dan kematian ibu di negara-negara berkembang. Bahkan di negara
maju, meskipun angka kematian ibu jauh lebih rendah, PPH tetap menjadi
perhatian utama. Peristiwa ini dilatarbelakangi kejadian tromboemboli dan
penyakit hipertensi sebagai penyebab umum kematian ibu pada wanita yang
kehamilannya berlanjut setelah 20 minggu. Periode postpartum sangat dini ini
berhubungan dengan komplikasi ibu dari perdarahan, perpindahan cairan, dan
emboli. Perdarahan pasca partum masih menjadi salah satu dari tiga penyebab
utama kematian ibu secara global. Meskipun mayoritas (99%) kematian dilaporkan
terjadi di Negara berkembang, risiko perdarahan postpartum tidak boleh
diremehkan pada setiap kelahiran, atau tidak hanya itu, potensi kala III
persalinan menjadi kala persalinan yang paling berbahaya juga tidak boleh
diremehkan. Selama kala ini, fokus dan
perasaan emosional serta kelegaan fisik ibu sering kali berubah secara spontan
dari kelelahan konsentrasi terhadap kelahiran yang actual menjadi eksplorasi dan pengenalan terhadap bayinya yang baru
lahir. Untuk memfasilitasi diperolehnya
hasil akhir yang aman dan sehat untuk ibu dan bayinya, kesehatan antenatal dan
juga persiapan intrapartum, keterampilan, ketekunan, dan keahlian bidan
merupakan faktor yang sangat penting.
Data penelitian seringkali lebih jelas tentang beberapa aspek
penatalaksanaan kala tiga dibandingkan kala persalinan lainnya.
1.2.
Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah
ini ialah sebagai berikut:
1. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan Manajemen Aktif Kala III persalinan
2. Memahami
bagaimana proses fisiologis pada kala III persalinan
3. Mengetahui
komponen apa saja yang terdapat dalam Manajemen Aktif Kala III persalinan
4. Memahami
bagaimana penatalaksanaan Manajemen Aktif Kala III persalinan
5. Mendapatkam
informasi mengenai preparat apa saja yang dapat menjadi pengganti oksitosin
serta efek samping masing-masing profilaksis
6. Mengetahui
perbedaan antara Expectant Management dan Active Management dalam
penatalaksanaannya
1.3. Manfaat Penulisan
Manfaat
dibuatnya makalah ini adalah :
1.
Sebagai
sumber informasi tambahan bagi penulis, mahasiswa serta tenaga kesehatan.
2. Sebagai sumber acuan untuk penulisan
makalah selanjutnya tentang manajemen aktif kalla III.
3. Sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam
bidang kesehatan.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1
.Definisi Manajemen Aktif Kala III
Manajemen aktif kala III
adalah mengupayakan kala III selesai secepat mungkin dengan melakukan
langkah-langkah yang memungkinkan plasenta lepas dan lahir lebih cepat.
Perdarahan postpartum merupakan salah
satu penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia; itu terjadi pada sekitar
10,5% dari kelahiran dan tercatat untuk lebih dari 130.000 kematian ibu setiap
tahun. Manajemen aktif kala III persalinan sangat efektif untuk mencegah
perdarahan postpartum. Dalam peninjauan secara sistematis terhadap uji
coba terkontrol secara acak, manajemen aktif kala III persalinan lebih efektif
daripada manajemen fisiologis dalam mencegah kehilangan darah, perdarahan
postpartum berat (> 500 ml) dan pemanjangan kala III
persalinan. Rutin menggunakan
manajemen aktif kala tiga persalinan untuk semua kelahiran pervaginam di
fasilitas kesehatan direkomendasikan oleh Federasi Internasional Ahli Kandungan
dan Dokter kandungan (FIGO) dan Konfederasi Internasional Bidan
(PTT), juga oleh WHO.
Definisi manajemen aktif
kala III persalinan bervariasi. Dalam review sistematis pada tujuh negara,
definisi MAK III ialah penggunaan obat uterotonika segera setelah kelahiran
janin, traksi (penegangan) tali pusat terkendali dan pengkleman serta
pemotongan tali pusat. Definisi ICM-FIGO mencakup penggunaan uterotonika
segera setelah melahirkan janin, traksi (penegangan) tali pusat terkendali dan
masase fundal langsung setelah melahirkan plasenta, diikuti dengan palpasi rahim
setiap 15 menit selama 2 jam untuk menilai kebutuhan lebih lanjut untuk
masase. kabel penjepit yang dikecualikan berdasarkan penelitian
menunjukkan bahwa manfaat tertunda klem prematur (dan mungkin jangka)
bayi.
2.2
.Proses Fisiologi Kala III
Proses ini merupakan
kelanjutan proses dan kekuatan yang bekerja pada kala persalinan sebelumnya.
Pemahaman tentang perubahan inilah yang menjadi panduan praktik bagi
bidan. Selama kala tiga, pemisahan dan
keluarnya plasenta serta membran terjadi akibat faktor-faktor mekanis dan
hemostatik yang saling memengaruhi.
Waktu pada saat plasenta benar-benar terpisah dari dinding uterus dapat
bervariasi. Plasenta dapat terlepas
selama kontraksi ekspulsif akhir yang menyertai kelahiran bayi atau tetap
melekat sampai beberapa waktu. Kala tiga
biasanya berlangsung antara 5-15 menit, tetapi periode hingga satu jam masih
dianggap dalam batas normal.
Pada kala tiga persalinan,
otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti penyusutan volume rongga uterus
setelah lahirnya bayi. Penyusutan ukuran
ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat perlekatan plasenta. Karena tempat perlekatan menjadi semakin
kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka plasenta akan terlipat,
menebal dan kemudian lepas dari dinding uterus.
Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah uterus atau ke dalam
vagina. Lebih jelasnya adalah sebagai
berikut.
1. Pelepasan plasenta
normal
Pelepasan plasenta terjadi karena adanya pergeseran
dari permukaan plasenta saat rahim berkontraksi setelah bayi dilahirkan. Tanda-tanda
pelepasan plasenta ialah adanya darah yang menyembur, pemanjangan tali pusat,
dan gerakan-cephalad anterior dari fundus uterus, yang menjadi lebih kencang
dan bulat setelah melepaskan plasenta. Pengeluaran plasenta merupakan
hasil dari proses kontraksi rahim spontan, tekanan ke bawah dari kumpulan darah
(retroplacental pooling) dalam ruang diantara dinding uterus, dan peningkatan
tekanan intraabdominal ibu. Perubahan unit uteroplasenter selama
pelepasan plasenta diklasifikasikan menjadi :
a. Fase
laten
Interval dari lahirnya janin sampai awal kontraksi
miometrium yang menyebabkan pelepasan plasenta. Ini adalah penentu utama
durasi kala III persalinan.
b. Fase
kontraksi
Fase ini ditandai dengan kontraksi miometrium di lokasi
plasenta.
c. Fase
pelepasan
Kontraksi miometrium di lokasi plasenta menyebabkan
plasenta tergeser dari rahim.
d. Fase pengeluaran
Plasenta diekstrusi dipisahkan dari rahim ke dalam
vagina.
Fase pelepasan plasenta telah diteliti dengan menggunakan
metode dinamis sonografi real-time. Fase laten ditandai oleh dinding tebal
miometrium plasenta yang mengalami kontraksi berkala dan dinding atas
miometrium di lokasi perlekatan plasenta tipis. Ketika penebalan dinding
tempat perlekatan plasenta (dari <1 cm sampai> 2 cm) terjadi pada akhir
tahap ini, aliran darah basal berhenti antara plasenta dan miometrium, sehingga
mencegah kehilangan darah yang berlebihan pada ibu ketika melepaskan
plasenta. Aliran darah yang persisten
dari pembuluh darah abnormal terjadi dengan perlekatan plasenta yang abnormal,
seperti akreta plasenta. Penebalan
dan pengurangan luas permukaan dinding perlekatan plasenta di geser dari tepi
plasenta. Proses ini biasanya dimulai di kutub bawah margin plasenta dan
berkembang di sepanjang lokasi yang berdekatan dengan tempat perlekatan
plasenta. Sebuah "gelombang pelepasan" menyebar ke atas sehingga
bagian paling atas dari pelepasan plasenta terakhir. Pada titik ini,
plasenta dapat dikeluarkan dari rahim.
Penegangan miometrium terkait dengan pemisahan plasenta
sudah diperkirakan dengan perubahan secara sonografi yang ditentukan oleh
ketebalan dinding rahim dan model geometrik yang disederhanakan dari dinding
rahim. Dalam studi ini, pengukuran penegangan dilakukan sebelum kala II
persalinan dan pada pelepasan plasenta. Pengeluaran plasenta dikaitkan dengan
penegangan miometrium maksimal, sehingga mempengaruhi pelepasan yang tidak
dapat dicapai sebelum kelahiran karena isi uterus dasarnya mampat (janin,
cairan ketuban) menahan kontraksi miometrium dan mencegah tercapainya regangan
maksimal.
2. Hemostasis
Volume normal aliran darah yang melalui plasenta adalah
500-800mL per menit. Pada pemisahan
plasenta, aliran ini harus dihentikan selama beberapa detik, jika tidak,
perdarahan yang serius akan terjadi.tiga faktor yang saling memengaruhi proses
fisiologis normal yang mengendalikan perdarahan merupakan hal yang sangat
penting dalam meminimalkan kehilangan darah dan sekuela serius morbiditas dan
atau mortalitas maternal. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Retraksi serat-serat otot uterus oblik pada
segmen atas uterus tempat pembuluh darah saling terjalin-penipisan otot
yang terjadi menimbulkan tekanan pada pembuluh darah yang pecah, bekerja
sebagai klem sehingga memperkuat kerja ligatur tersebut. Tidak adanya serat oblik pada uterus bagian
bawah menyebabkan meningkatnya kehilangan darah yang menyertai pemisahan
plasenta pada plasennta previa.
2. Adanya kontraksi uterus yang
kuat setelah pemisahan-hal
ini menyebabkan dinding uterus saling merapat sehingga terjadi tekanan
selanjutnya pada plasenta.
3. Pencapaian hemostasis- terdapat data yang menunjukkan bahwa
terjadi aktivasi sementara sistem koagulasi dan fibrinolitik selama dan segera
setelah pemisahan plasenta. Diyakini bahwa respons protektif terutama aktif
pada sisi plasenta sehingga pembentukan bekuan pada pembuluh darah yang pecah
menjadi lebih cepat. Setelah pemisahan, sisi plasenta dengan cepat diliputi
oleh tautan fibrin dengan menggunakan 5-10% fibrinogen yang bersirkulasi.
3. Durasi
Durasi kala III persalinan penting karena prevalensi meningkatnya
perdarahan postpartum sebagai pemanjangan durasi [6,7]. Tidak ada kriteria
yang diterima secara universal untuk durasi normal kala tiga. Dua seri
besar persalinan berturut-turut menunjukkan bahwa panjang rata-rata 5-6 menit,
dan bahwa 90 persen dari plasenta dilahirkan dalam waktu 15 menit dan 97 persen
disampaikan dalam waktu 30 menit setelah melahirkan, [7,8].
4. Pengaruh usia kehamilan
Usia kehamilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi lamanya kala III
persalinan: kelahiran prematur berhubungan dengan periode yang lebih lama
sepertiga waktu persalinan daripada persalinan dengan cukup bulan
[7-10]. Sebagai contoh, satu studi menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
kehamilan cukup bulan, frekuensi terjadinya retensio plasenta (2,0 persen
secara keseluruhan) telah nyata meningkat di antara kehamilan ≤ 26 minggu dan, tingkat lebih rendah, di antara
mereka kurang dari 37 minggu. Hubungan ini juga telah menunjukkan
diantara para wanita yang mengalami terminasi kehamilan pada
midtrimester. Sebuah studi dari 96 perempuan yang diberikan supositoria
vaginal prostaglandin E2 untuk terminasi kehamilan mencatat bahwa kala III
adalah ≤ 15 menit pada 18 pasien (19 persen) dan ≤ 30 menit pada 36 pasien (38
persen), namun, 40 dari 96 (42 persen) plasenta tidak dilahirkan secara
spontan dalam waktu dua jam setelah kelahiran janin.
2.3
Alat dan Bahan :
1. Partus
set
2. Sarung
tangan steril
3. Bengkok
4. Klem
tali pusat
5. Kendil
6. Larutan
Klorin 0,5 %
2.4
Prosedur
Plasenta Manual
Persiapan
·
Pasang
set dan cairan infuse
·
Jelaskan
pada ibu prosedur dan tujuan tindakan
·
Lakukan
anastesi verbal atau analgesia per rectal
·
Siapkan
dan jelaskan prosedur pencegahan infeksi
Tinjadakan
Penetrasi ke dalam kavum uteri
1.
Pastikan
kandung kemih dalam keadaan kosong
2.
Jepit
tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan1 tangan sejajar
lantai
3.
Secara
obstetric, masukan tangan lainnya (punggung tangan menghadap ke bawah) ke dalam
vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat.
4.
Setelah
mencapai bukaan servik, minta seorang asisten atau atau penolong lain untuk
memegangkan klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus
uteri.
5.
Sambil
menahan fundus uteri, masukan tangan dalam hingga ke kavum uteri sehingga
mencapai tempat implantasi plasenta.
6.
Bentangkan
tangan obstetri menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari merapat ke jari
telunjuk dan jari-jari lain saling merapat).
Melepas
plasenta dari dinding uterus
7.
Tentukan
implantasi plasenta, temukan tepi plasenta paling bawah.
8.
Setelah
ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding uterus maka perluas
pelepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan ke kanan dan kiri smbil
digeser ke atas (cranial ibu) hingga semua perlekatan plasenta terlepas dari
dinding uterus
Mengeluarkan
plasenta
9.
Sementara
satu tangan masih di dalam kavu uteri, lakukan eksplorasi untuk menilai tidak
ada sisa plasenta yang tertinggal.
10.
Pindahkan
tangan luar dari fundus ke simfisis (tahan segmen bawah uterus) kemudian
instruksikan asisten atau penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam
membawa plasenta keluar (hindari terjadinya percikan darah)
11.
Lakukan
penekanan (dengan tangan yang menahan super simfisis) uterus kea rah dorso
cranial setelah plasenta di lahirkan dan tempatkan plasenta di dalam wadah yang
telah disediakan.
Pencegahan
infeksi pasca tindakan
12.
Dekontaminasi
sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lain yang digunakan.
13.
Lepaskan
dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan klorin 0,5%
selama 10 menit.
14.
Cuci
tanga dengan sabun dan air bersih mengalir.
15.
Keringkan
tangan dengan handuk bersih dan kering
Pemantauan
pasca tindakan
16.
Periksa
kembali tanda vital ibu
17.
Catat
kondisi ibu dan buat laporan tindakan
18.
Tuliskan
rencana pengobatan, tindakan yang masih diperlukan dan asuhan selanjutnya.
19.
Beritahukan
pada ibu dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi ibu masih
memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan.
20.
Lanjutkan
pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan sebelum dipindah ke ruang rawat
gabung.
2.5
Penatalaksanaan Manajemen Aktif Kala
III
Expectant
versus active management
Pendekatan
optimal untuk pengelolaan kala III persalinan adalah kontroversial. Dua
pendekatan yang dapat diterima adalah:
1.
Expectant management
Expectant
management atau manajemen fisiologis mengacu pada lahirnya plasenta secara
spontan tanpa menggunakan agen uterotonik, tali pusat dibiarkan tanpa diklem
hingga pulsasinya berhenti dan atau ibu meminta untuk diklem, dan plasenta
dikeluarkan dengan menggunakan gravitasi serta upaya maternal. Dengan
pendekatan ini, pemberian uterotonik terapeutik
dilakukan, baik itu untuk menghentikan perdarahan setelah perdarahan itu
terjadi atau untuk mempertahankan uterus dalam kondisi terkontraksi jika
terdapat indikasi bahwa perdarahan hebat cenderung terjadi.
Penggunaan
darurat biasanya terjadi jika terdapat indikasi perdarahan yang tidak
terkendali. Dalam situasi ini, penting
bagi bidan untuk mewaspadai apakah, apa, dan berapa banyak agen uterotonik yang
sudah diberikan. Apapun pengalaman
praktik bidan, atau data penelitian terbaik yang tersedia, tetap saja keputusan
ada pada ibu tentang bagaimana ia ingin rencana kehamilan dan persalinannya
dilakukan, karena bisa saja terdapat keyakinan filosofis, religious, atau cultural, yang memengaruhi keputusannya
tersebut. Namun demikian, bidan juga memiliki hak dan tanggung jawab dan dalam
lingkungan praktik yang sangat berbasis hukum ini, dokumentasi merupakan hal
yang sangat penting, terutama dalam hal ketika informasi yang berdasarkan data
menjadi dasar untuk mengkaji apakah asuhan yang seharusnya diberikan memang
benar-benar telah diberikan.
2.
Manajemen aktif
Manajemen
aktif secara umum terdiri dari klem tali pusat, penegangan tali pusat
terkendali, masase uterus, dan pemberian agen uterotonik sebelum pelepasan
plasenta. Penatalaksanaan aktif
merupakan kebijakan yang mengharuskan dilakukannya pemberian uterotonik profilaktik sebagai tindakan pencegahan
untuk menurunkan risiko perdarahan pasca partum tanpa memedulikan status
obstetrik ibu. Kebijakan penatalaksanaan aktif biasanya meliputi pemberian agen
uterotonik, baik secara intravena, intramuscular maupun secara oral. Pemberian
ini dilakukan bersamaan dengan pengkleman tali pusat segera setelah kelahiran
bayi dan lahirnya plasenta dengan menggunakan penegangan tali pusat terkendali.
Jika setelah dikaji ternyata ibu juga berisiko tinggi mengalami perdarahan
pascapartum (mis: kelahiran kembar, grande multipara), infus profilaktik dosis
uterotonik yang lebih besar yang dilarutkan dalam cairan intravena dapat
diberikan selama beberapa jam setelah kelahiran. Hal ini juga dianggap sebagai bagian dari
kebijakan penatalaksanaan aktif. Penatalaksanaan aktif kala tiga merupakan
kebijakan penatalaksanaan persalinan kala tiga yang paling banyak dilakukan
didunia.
Komponen manajemen aktif
kala III yaitu:
1. Pemberian
oksitosin IM segera setelah bayi lahir (maksimal 2 menit)
Pemberian oksitosin adalah
komponen utama standar manajemen kala III persalinan. Nilai oksitosin
ditunjukkan dalam peninjauan secara sistematis terhadap tujuh studi (n = 3000
pasien) yang membandingkan pemberian profilaksis dengan oksitosin dan tanpa
uterotonik pada kala III persalinan. Pasien yang diberi oxytocin mengalami
kehilangan darah yang signifikan dan perdarahan postpartum (RR untuk kehilangan
darah > 500 0,50 mL; 95% CI 0,43-0,59).Namun, tidak ada perbedaan dalam lama
kala III. Waktu optimum pemberian oksitosin tidak jelas. Oksitosin
telah diberikan sebelum pelepasan plasenta untuk mempercepat proses dan setelah
pengeluaran plasenta untuk meningkatkan kontraksi uterus dan mengurangi volume
kehilangan darah. Sebagian besar uji acak diberikan obat sebelum pelepasan
plasenta, data yang lebih sedikit, pemberian oksitosin setelah lahirnya
plasenta. Berikut ini adalah hasil penelitian terbaru:
2. Tali pusat
diklem
Tindakan ini dapat
dilakukan selama kelahiran bayi jika tali pusat melilit leher bayi dengan
ketat. Namun demikian, terdapat berbagai pendapat yang berbeda mengenai waktu
pengkleman tali pusat yang paling tepat selama kala III persalinan (Inch 1985).
Pengkleman dini dilakukan pada 1-3 menit pertama segera setelah kelahiran tanpa
memeriksa apakah pulsasinya sudah berhenti atau belum. Berikut ini efek
dilakukannya pengkleman dini tersebut:
3. Plasenta
dilahirkan melalui peregangan tali pusat terkendali dengan menahan fundus
uterus secara dorsokranial (arah ke atas dan ke belakang). Tindakan ini diyakini dapat mengurangi
kehilangan darah, memperpendek kala tiga persalinan, dan dengan demikian,
meminimalkan waktu ketika ibu berisiko mengalami perdarahan. Penegangan tali
pusat terkendali ditujukan untuk meningkatkan proses fisiologis normal. Keberhasilan tindakan ini bergantung pada
pemahaman prinsip pemisahan plasenta yang telah dijelaskan di awal bab ini.
Jika penegangan tali pusat terkendali dilakukan, terdapat beberapa pemeriksaan
yang harus dilakukan sebelumnya, yaitu:
a. Apakah obat
uterotonik telah diberikan
b. Apakah
memang sudah waktunya tindakan ini boleh dilakukan
c. Apakah uterus
berkkontraksi dengan baik
d. Apakah countertraction telah dilakukan
e. Apakah
terdapat tanda-tanda pelepasan dan penurunan plasenta.
Di awal kala tiga,
kontraksi uterus yang kuat akan mengakibatkan fundus dapat dipalpasi dibawah
umbilikus. Fundus teraba luas karena plasenta masih berada di bagian atas. Pada
saat plasenta lepas dan turun ke dalam uterus bagian bawah, terdapat sedikit
darah segar yang keluar, tali pusat memanjang, dan kemudian fundus menjadi
lebih bundar (globuler), kecil, dan lebih lincah karena terdorong ke dalam
abdomen lebih tinggi dari plasenta). Namun demikian, terdapat perdebatan
tentang kapan seharusnya tindakan ini dilakukan, sebelum atau sesudah
tanda-tanda pelepasan plasenta terlihat. Levy & Moore (1985) menemukan
bahwa darah yang keluar akan berkurang jika penegangan tali pusat terkendali
ini ditunda sampai terjadi pemanjangan tali pusat dan keluarnya sedikit darah
segar.
Bidan tidak perlu
memanipulasi uterus dengan cara apapun karena dapat menimbulkan kerja uterus
yang tidak teratur. Tidak ada langkah lebih lanjut yang dapat dilakukan hingga
teraba kontraksi yang kuat. Jika tegangan diberikan pada tali pusat tanpa
kontraksi tersebut, dapat terjadi inverse uterus. Hal ini merupakan kedaruratan
obstetrik akut dengan implikasi ancaman terhadap nyawa ibu. Jika penegangan tali
pusat terkendali merupakan metode penatalaksanaan yang akan dilakukan,
rangkaian tindakan berikut ini biasanya harus dilakukan.
Jika uterus ditemukan
sedang berkontraksi pada saat dipalpasi, letakkan satu tangan diatas garis
simfisis pubis dengan telapak tangan menghadap ke umbilikus sambil memberi
tekanan ke arah atas. Tindakan ini merupakan countertraction. Dengan tangan lain, genggam tali pusat dengan
mantap, tarik kearah bawah dan belakang mengikuti garis jalan lahir.
Kemungkinan dapat dirasakan sedikit tahanan, tetapi penting bagi bidan untuk
memberikan tekanan yang stabil dengan menarik tali pusat secara mantap dan
mempertahankan tekanan tersebut. Gerakan yang menyentak dan kuat harus
dihindari. Tujuannya adalah menyelesaikan tindakan ini dengan satu gerakan yang
kontinu, halus dan terkendali. Namun demikian, tegangan ini hanya boleh
diberikan selama 1 atau 2 menit karena dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada
ibu dan keletihan pada tangan bidan.
Tarikan ke bawah tali
pusat harus dihentikan sebelum countertraction
uterus mengalami relaksasi karena hilangnya countertraction secara tiba-tiba pada saat tegangan tali pusat
masih diberikan memfasilitasi terjadinya inverse uterus. Jika tindakan ini
tidak langsung berhasil, harus dihentikan sejenak sebelum kontraksi uterus
diperiksa kembali dan upaya berikutnya dilakukan. Saat uterus mengalami
relaksasi, tegangan ini sementara dilepaskan sampai kontraksi yang baik dapat
dipalpasi kembali. Setelah plasenta terlihat, plasenta dapat ditangkupkan
dengan tangan untuk mengurangi tekanan pada membrane yang rapuh. Gerakan lembut
ke atas dan ke bawah atau gerakan memilin akan membantu mengeluarkan membrab
dan meningkatkan kemungkinan melahirkannya secara utuh. Forsep arteri dapat
dipasang untuk secara bertahap membantu mengeluarkan membran dari vagina.
Proses ini tidak boleh dilakukan tergesa-gesa; kecermatan yang tinggi harus
dilakukan untuk mencegah robeknya membran.
4. Begitu
plasenta dilahirkan, lakukan masase pada fundus uterus secara sirkular agar
uterus tetap berkontraksi dengan baik serta untuk mendorong ke luar setiap
gumpalan darah yang ada dalam uterus.
2.4
. Posisi Ibu dalam Penatalaksanaan Kala III
Dampak
posisi yang dilakukan ibu pada saat melahirkan plasenta masih belum jelas. Hal ini dapat bervariasi sesuai keinginan
pribadi ibu, normalitas kemajuan, dan pengalaman, serta rasa percaya diri bidan
yang menolong dan juga dapat dipengaruhi oleh kebutuhan bidan untuk memantau
secara cermat faktor-faktor, misalnya kontraksi uterus dan kehilangan darah.
Penggunaan
posisi dorsal mempermudah dilakukannya palpasi fundus uterus. Namun demikian,
pada posisi ini, darah cenderung berkumpul di uterus dan vagina sehingga
mempersulit ditentukannya perdarahan yang sebenarnya. Posisi tegak, berlutut
atau merangkak dapat meningkatkanefek gravitasi dan tekanan intra-abdomen yang
dapat mempercepat proses pelahiran plasenta. Darah yang keluar dapat lebih
mudah diobservasi karena cairan akan keluar dari vagina. Posisi jongkok
dilaporkan meningkatkan visibilitas kehilangan darah (Gupta & Nikodem
2002). Namun di Indonesia masih jarang dan hampir tidak pernah ditemui posisi
jongkok digunakan dalam kala III. Posisi apapun yang digunakan, penggunaan alat
bantu seperti sanggurdi, bantal, dan dukunga fisik pasangannya akan membantu
memastikan kenyamanan ibu saat menyelesaikan kala tiga persalinan. Sebagian ibu
akan merasa kedinginan dan gemetar saat ini, terutama jika persalinna terjadi
dengan cepat. Hal ini biasanya bersifat sementara dan bukan hal yang abnormal.
2.5
. Tindakan Asepsis
Kebutuhan
asepsis saat ini jauh lebih besar daripada kala persalinan sebelumnya. Laserasi
dan memar pada serviks, vagina, perineum dan vulva merupakan jalan masuk
mikroorganisme. Pada sisi plasenta, luka yang terjadi merupakan media infeksi
yang ideal. Oleh karena itu, perhatian yang cermat terhadap pencegahan sepsis
merupakan hal yang sangat penting.
Pada
saat ini, abdomen dapat diselimuti dengan handuk bersih dan tangan ditempelkan
pada fundus ibu untuk memantau kemajuannya.
2.6
. Penyelesaian Kala III
Setelah
plasenta dilahirkan, bidan terlebih dahulu harus memeriksa apakah uterus
berkontraksi dengan baik dan darah segar yang keluar dalam volume yang minimal.
Inspeksi yang cermat terhadap perineum dan vagina bagian bawah merupakan hal
yang sangat penting. Arahkan cahaya ynag kuat pada perineum untuk mengkaji
adanya trauma akut sebelum melakukan perbaikan. Perbaikan ini harus dilakukan
sehati-hati mungkin karena jaringan tersebut biasanya memar dan edema. Laserasi
ringan seperti kerusakan pada fourchette dapat
dibiarkan tanpa dijahit. Namun demikian, jika terdapat luka yang lebih luas
seperti episiotomi atau robekan derajat dua, penjahitan hatus dilakukan sebaik
mungkin untuk mencegah kehilangan darah yang tidak perlu dan peningkatan risiko
edema pada sisi trauma. Duthie et al (1990)
dalam studi laboratoriumnya mengenai perbandingan jumlah kehilangan
darah dengan perkiraan visual di ruang persalinan, menemukan bahwa 17,7%
perdarahan pascapartum primer yang dihitung dengan pengukuran laboratorium
luput dari perkiraan visual pada populasi wanita yang dikaji berisiko rendah
mengalami perdarahan pascapartum.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa manajemen aktif
kala tiga ialah tindakan setelah bayi lahir yang bertujuan untuk mengurangi
bahkan menekan angka kematian ibu yang banyak disebabkan oleh perdarahan
postpartum. Terdapat dua macam manajemen
untuk pengelolaan periode kala tiga persalinan, yaitu manajemen expectant atau disebut manajemen
fisiologis dan manajemen aktif.
Perbedaan antara keduanya hanya dalam pemberian agen uterotonik, pada
manajemen fisiologis, ibu tidak diberi uterotonik seperti injeksi oksitosin dan
pada manajemen aktif, ibu diberi injeksi oksitosin untuk mencegah perdarahan
dan membantu kontraksi uterus yang optimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Depkes RI. 2008. Asuhan
Persalinan Normal. Edisi Baru dengan
Resusitasi: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar